Bahtsul Masail, Forum Diskusi di NU Miliki 5 Keunikan

Tangerang Selatan, Sinar SuryaBahtsul Masail merupakan sebuah forum diskusi antar ahli keilmuan Islam -utamanya fikih- di lingkungan pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Di forum ini, berbagai macam persoalan keagamaan yang belum ada hukumnya, belum dibahas ulama terdahul, dibahas secara mendalam.

“Bahtsul masail menurut Kiai Sahal Mahfudh adalah ganti dari istilah istinbath dan ijtihad di lingkungan NU,” kata A Khoirul Anam saat mengisi acar diskusi di Sekretariat Islam Nusantara Center (INC) di Tangerang Selatan, Sabtu (5/5).

Mengutip pendapat KH Sahal Mahfudh, Anam menyebutkan bahwa bahtsul masail tidak berbeda dengan istinbath (pengambilan hukum) atau ijtihad. Karena kedua istilah tersebut cenderung “wah”  di lingkungan pesantren NU, maka kemudian digunakan istilah bahstul masail.

“Lingkungan NU Tidak berani memakai istilah itu (istinbath atau ijtihad), maka dibuatlah istilah bahtsul masail,” jelasnya.

5 Keunikan Bahtsul Masail 

Menurut Anam, bahtsul masail memiliki lima keunikan atau kekhasan.

Pertama, konsep bersama-sama (jama’i). Forum bahtsul masail yang diselenggarakan di lingkungan NU pasti melibatkan banyak orang dari berbagai macam disiplin ilmu seperti fiqih, ushul fiqih, hadist, dan lainnya. Di sini, sebuah persoalan dilihat dan ditinjau secara komprehensif.

“Di pesantren, penetapan hukum Islam tidak ditentukan pribadi, tapi bareng-bareng,” jelasnya.

Kedua, tidak mengutip langsung Al-Qur’an dan hadist. Anam mengatakan, adalah sesuatu yang berbahaya kalau merujuk langsung kepada Al-Qur’an. Mengapa? Al-Qur’an itu memiliki makna dan tafsiran yang banyak sekali. Kalau langsung mengutip Al-Qur’an, maka dikhawatirkan akan merujuk arti yang satu yaitu arti terjemahan.

Ketiga, mengutip pendapat ulama secara qouliyah. Di forum-forum bahtsul masail, para peserta seringkali merujuk kepada pendapat ulama terdahulu dalam menyikapi sebuah masalah. Biasanya mereka ‘menarik pendapat terdahulu dengan persoalan yang sedang terjadi saat ini.

“Bagi kelompok nyinyir. Mereka dianggap tidak kreatif karena hanya mengutip ulama terdahulu,” katanya.

“Sebetulnya bahtsul masail itu ilmiah. Di kajian-kajian akademik, ada kajian studi terdahulu. Begitu pun bahtsul masail. Itu sah dan ilmiah dalam dunia akademis,” tambahnya.

Keempat, selalu mengutip teks-teks berbahasa Arab. Bagi Anam, ini adalah sesuatu yang problematis karena yang dikutip dalam bahtsul masail hanya kitab-kitab yang berbahasa Arab. Sedangkan, banyak kiai dan ulama NU yang menulis dalam bahasa Indonesia dan pegon. Namun karena karya tersebut ditulis di luar bahasa Arab, maka tidak dikutip. Padahal isinya tidak kalah dengan yang berbahasa Arab. Bahkan bisa saja lebih berisi.

“Tulisan-tulisan Kiai Sahal Mahfudh dan Gus Mus  yang berbahasa Indonesia tidak akan ditulis di bahtsul masail,” ujar kandidat doktor UIN Jakarta ini.

Kelima, anggotanya tidak tetap. Para anggota yang bersidang di sebuah forum bahtsul masail tidak lah tetap. Biasanya mereka berganti-ganti. Namun yang pasti, anggota yang ikut bersidang dalam bahtsul masail memiliki kecakapan dalam bidang keilmuan Islam.

Di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memang ada Lembaga Bahtsul Masail, namun mereka hanya bertugas sebagai panitia penyelenggara. Sedangkan pesertanya terdiri dari kiai-kiai di seluruh pesantren NU. (Muchlishon)