Bandung Barat, Sinarsuryanews.com – Dunia pendidikan kembali tercoreng. Dugaan praktik komersialisasi pendidikan mencuat di SD Negeri 1 Cipada, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, setelah terungkap adanya kewajiban bagi siswa membeli buku Lembar Kerja Siswa (LKS) dengan harga Rp 30.000 per eksemplar.
Buku yang dijual langsung oleh pihak sekolah ini berisi gabungan mata pelajaran inti—mulai dari Pendidikan Pancasila, Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, hingga IPAS. Tak ada pilihan bagi siswa, semua diwajibkan membeli. Dengan jumlah siswa 337 orang, dana yang berhasil dihimpun kepala sekolah mencapai sekitar Rp 10.110.000.
Praktik semacam ini jelas bertentangan dengan aturan resmi pemerintah. Melalui Permendikbud Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 9, ditegaskan bahwa sekolah dilarang menjual buku ajar kepada peserta didik atau orang tua, apalagi dengan cara mewajibkan. Namun faktanya, aturan ini seolah diabaikan dan dilangkahi secara terang-terangan.
Lebih berbahaya lagi, penggunaan LKS sebagai bahan ajar telah lama dikritik karena membunuh kreativitas guru dan membatasi daya pikir siswa. Proses belajar hanya sebatas mengisi soal-soal singkat, tanpa memberi ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan berinovasi. Dengan kata lain, LKS menjadikan pendidikan sekadar rutinitas hafalan, bukan proses mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tak hanya itu, kebijakan ini juga menciptakan beban finansial baru bagi orang tua siswa. Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih serba sulit, kewajiban membeli LKS jelas menjadi pungutan liar berkedok kebutuhan belajar. Ironis, di satu sisi pemerintah menyalurkan dana BOS untuk mendukung pendidikan gratis, namun di sisi lain sekolah justru membuka celah pungutan tambahan.
Lebih jauh, praktik ini berpotensi menjadi lahan bisnis bagi oknum sekolah. Pertanyaan besar pun muncul: ke mana aliran dana belasan juta rupiah hasil penjualan LKS tersebut? Apakah masuk ke kas sekolah atau justru menguntungkan segelintir pihak?
Sayangnya, hingga berita ini diterbitkan, kepala sekolah SD Negeri 1 Cipada bungkam dan belum memberikan klarifikasi resmi terkait temuan ini. Diamnya pihak sekolah hanya semakin memperkuat dugaan adanya pelanggaran serius di balik praktik penjualan LKS tersebut.
Fenomena ini menegaskan bahwa komersialisasi pendidikan masih subur di sekolah negeri maupun swasta, dengan menjadikan siswa sebagai objek bisnis. Jika dibiarkan, dampaknya bukan hanya membebani orang tua, tetapi juga merusak kualitas pendidikan secara sistemik.
Kini, publik menunggu langkah tegas Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Barat: apakah berani menindak sekolah yang nyata-nyata melanggar aturan, atau justru memilih tutup mata ?
(HW)