Denpasar, Sinar Surya – Penerimaan siswa baru dengan menggunakan sistem zonasi dalam aplikasinya tidak semudah yang dibayangkan. Gagasan sistem ini bisa jadi baik, tapi dalam penerapannya carut marut di sana sini.
Sistem zonasi diatur dalam Permendikbud No 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, Atau Bentuk Lain Yang Sederajat.
“Permendikbud No. 14 Tahun 2018 berpotensi memisahkan tempat tinggal anak dengan orang tua. Permendikbud No 14/2018 ini secara gagasan baik adanya untuk pemerataan, namun perlu juga dipikirkan mengenai persebaran penduduk yang menyangkut pekerjaan,” kata ahli Jimmy Z. Usfunan, kepada wartawan, Minggu (8/7/2018).
Jimmy memberikan contoh kasus di Bali. Seorang warga Singaraja bekerja di Denpasar. Karena sistem zonasi, maka anaknya tidak bisa ikut orang tuanya di Denpasar karena sudah di luar zona KTP/KK anak.
“Dengan demikian, menjadi persoalan apabila orang tua berpindah ke kabupaten/kota lain dalam 1 provinsi atau di luar provinsi hanya karena tugas kerja. Sedangkan anak harus mendaftarkan diri di zonasi alamat kartu keluarga,” tutur pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Udayana itu.
Aturan itu tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) yaitu sekolah diwajibkan menerima 90% calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah. Sedangkan domisili itu dibuktikan dengan alamat pada kartu keluarga, sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
“Secara tidak langsung Permendikbud, memberikan pilihan sulit kepada keluarga untuk memilih ikut orang tua atau bersekolah di alamat asal. Tentunya, akan memunculkan persoalan baru di kemudian hari. Di satu sisi orang tua diminta untuk mengawasi perkembangan anak, namun disisi lain ada kebijakan pemerintah yang ingin memisahkan anak dengan orang tua,” ujar Jimmy.
“Tentunya, kebijakan zonasi ini tidak semudah dibayangkan dan perlu empertimbangkan beragam aspek termasuk persebaran kependudukan,” sambung Jimmy.
Atas fakta-fakta di lapangan, perlu dibuat perkecualian untuk klausul-klausul tertentu. Sistem zonasi bisa saja dilabrak, apabila dipandang bisa merusak tujuan yang lebih besar dalam pertumbuhan anak.
“Sebaiknya, perlu juga memberikan dispensasi kepada anak-anak calon peserta didik yang bertempat tinggal berbeda dengan alamat asal, namun mengikuti orang tua. Dengan demikian, pengawasan anak oleh orang tua tetap terjaga, demi perlindungan kelangsungan hidup anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, penerapan sistem zonasi banyak menimbulkan kontroversi di lapangan. Selain pembagian zonasi yang tidak siap, juga sistem online yang down sehingga banyak menimbulkan masalah. (dt/ss)