Bandung, Sinarsuryanews.com — Program Indonesia Pintar (PIP) yang sejatinya menjadi penopang pendidikan bagi siswa kurang mampu, justru diduga dijadikan ajang “pemotongan berjamaah” di lingkungan MTsS Al Muslimin Citapen, Kabupaten Bandung Barat.
Dari hasil penelusuran tim media, terungkap adanya pemotongan dana bantuan PIP yang semestinya diterima utuh oleh siswa sebesar Rp 750 ribu per anak. Ironisnya, potongan itu dilakukan dengan berbagai dalih administrasi dan kegiatan sekolah.
Informasi dari para penerima dan orang tua siswa menyebutkan bahwa dana PIP yang cair ke rekening siswa tidak pernah diterima secara penuh.
Setiap siswa dikenakan potongan sebagai berikut:
Rp 50.000 untuk biaya administrasi,
Rp 350.000 untuk uang kegiatan akhir tahun, dan Rp 160.000 untuk iuran kegiatan sekolah selama satu tahun (Rp 20.000/bulan × 12 bulan).
Dengan demikian, total potongan mencapai Rp 560.000 per siswa. Dari total 78 siswa penerima PIP, hanya dua siswa yang lolos dari potongan kegiatan, namun tetap dikenakan biaya administrasi Rp 50 ribu.
Salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya mengaku kecewa,
“Kami kira bantuan itu buat anak-anak, bukan buat madrasah. Tapi ternyata dipotong, katanya untuk kegiatan akhir tahun dan administrasi. Kalau kami tidak ikut, anak bisa malu di sekolah,” ujarnya dengan nada kesal.
Saat dikonfirmasi, Kepala MTsS Al Muslimin Citapen tidak membantah adanya pemotongan tersebut. Ia bahkan menyebut bahwa mekanisme itu sudah mendapat restu dari Kasi Pendidikan Madrasah Kabupaten Bandung, Deden Syarif, S.Ag., M.M. pada kamis 30 Oktober 2025
“Sudah sepengetahuan Pak Deden. Saya sudah telepon langsung waktu itu,” ujar Kepala Madrasah di ruang kerjanya.
Pernyataan ini justru menambah kejanggalan. Sebab, sesuai Permendikbud Nomor 10 Tahun 2020 dan Surat Edaran Dirjen Pendis Kemenag RI, dana PIP tidak boleh dipotong dalam bentuk apa pun. Bantuan ini merupakan hak pribadi siswa penerima dan bukan dana operasional lembaga.
Situasi makin janggal ketika saat proses wawancara berlangsung, Kepala Madrasah menerima panggilan telepon dari seseorang bernama Husni, yang mengaku sebagai wartawan Metro wilayah Sumedang. Namun, setelah beberapa menit berbicara, Husni tiba-tiba mengaku sebagai bagian dari Yayasan Al Muslimin.
Padahal, berdasarkan klarifikasi media, Kepala Yayasan Al Muslimin yang sah adalah Agus Ishak, bukan Husni.
Kejadian itu menimbulkan dugaan adanya intervensi dan pengaburan informasi publik yang dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya.

“Kami sudah komunikasi langsung dengan Pak Agus Ishak sebagai Ketua Yayasan. Jadi, pengakuan Husni yang mengaku bagian dari yayasan itu jelas menimbulkan tanda tanya besar,” ungkap salah satu anggota tim media investigasi.
Jika benar restu Kasi Pendidikan digunakan sebagai dasar pemotongan, maka hal ini berpotensi melanggar UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya terkait penyalahgunaan wewenang dan pungutan tidak sah.
Selain itu, keterlibatan pejabat struktural Kemenag dalam memberi “izin” praktik seperti ini merupakan bentuk pelanggaran kode etik ASN dan penyimpangan kebijakan publik.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi Kementerian Agama Kabupaten Bandung. Program bantuan sosial yang seharusnya meringankan beban siswa miskin justru diambil sebagian oleh pihak lembaga, bahkan disinyalir “dilegalkan” oleh pejabat internal.
Aktivis pendidikan dan pemerhati kebijakan publik mendesak agar:
Kemenag Kabupaten Bandung Barat segera melakukan audit investigatif terhadap pengelolaan PIP di MTsS Al Muslimin Citapen.
Inspektorat Jenderal Kemenag RI dan APIP Kabupaten Bandung turun tangan menelusuri dugaan restu dari Kasi Pendidikan.
Satgas Saber Pungli dan Ombudsman RI diminta menindaklanjuti laporan masyarakat demi menjamin akuntabilitas publik.
Kasus dugaan pungli PIP di MTsS Al Muslimin Citapen bukan sekadar soal uang Rp 560 ribu, tetapi soal moralitas dan integritas lembaga pendidikan yang mengelola dana negara.
Di tengah upaya pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan dan menghapus praktik koruptif, tindakan seperti ini adalah pengkhianatan terhadap amanah publik.
“Jika benar restu pejabat digunakan untuk membenarkan pemotongan bantuan anak miskin, maka yang harus dipotong bukan dana PIP — melainkan budaya KKN yang tumbuh di balik seragam aparatur sipil negara. (HW)






