Indramayu, SinarSuryaNews.Com – Akhirnya terdakwa “tragedi PG Jati Tujuh” Taryadi yang divonis 10 tahun penjara ajukan kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 219/Pid.B/2022/PT.Bdg, tanggal 5 Agustus 2022 Yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Indramayu Nomor: 30/Pid.B/2022/PN.Idm tanggal 15 Juni 2022 Atas nama Taryadi bin H.Daud ke Mahkamah Agung RI (MARI).
Memori kasasi konflik Agraria 4 Oktober 2021 yang menimbulkan korban jiwa dari pihak yang melakukan penyerangan itu, disampaikan Jumat 2 September Pukul 13.00 WIB kepada Mahkamah Agung RI melalui Pengadilan Negeri Indramayu. Yang mana penyerahan dilakukan langsung oleh advokat dan konsultan hukum H.Dudung Badrun.S.H. M.H dan H.Asep Arif Hidayat SH selaku Kuasa Hukum dari tervonis PIDANA 10 tahun penjara Taryadi. Memori kasasi itu, diterima langsung oleh bagian kepanitraan PIDANA Pengadilan Negeri Indramayu.
Sekalipun berat, hal ini harus kami lakukan demi terwujudnya kebenaran dan keadilan, kami menyadari bahwa instrumen penegakan hukum di Indonesia sangat buruk (lihat kasus SAMBO), sehingga kami harus menerima konsekuensinya, dimana bisa saja terjadi penambahan hukuman seperti halnya di tingkat banding, meski tidak jelas pertimbangan hukumnya. “tapi terjadi vonis yang telah mengkoreksi hukuman yang tadinya 8 tahun menjadi 10 tahun penjara” ucap H.Dudung Badrun di ruang tunggu PN.Indramayu.
Tragedi hukum ini memang sangat membuat semua miris, sebab sejumlah petani yang tergabung dalam F-Kamis, mereka harus dihukum karena adanya konflik agraria yang berujung bentrokan dan mengakibatkan korban jiwa dari pihak penyerang. Akan tetapi tetap saja yang diproses hukum adalah yang diserang manakala penyerang jadi korban. “ini yang dianggap sesat oleh masyarakat” Tutur pemerhati skandal Jati Tujuh dari unsur GMNI Indramayu.
Mereka yang dihukum adalah Ketua F-Kamis 10 tahun yang dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab karena telah memerintahkan petani menjaga lahan garapannya, dan anggotanya divonis 8 tahun penjara yang terdiri dari : Warno, Yanto, Kudrat, Rohidin, Dulkosim, Wirnalim dan Maman Sulaeman (Acong) sedangkan yang divonis 1,5 tahun adalah Eryanto alias Doeng, Daryana alias Keplo, Surwaya Alias gondrong, penying, Damir dan Carsudin alias sablak. dan masih ada yang diburu APH.
Hatta yang biasa dipanggil Ata yang merupakan keluarga Warno tervonis 8 tahun beberapa waktu lalu baru ditangkap dan dimasukan kedalam sel Polres Indramayu untuk dibuatkan BAP oleh penyidik.
Sementara menurut kerabat para terdakwa yang mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Indramayu, apa yang disampaikan dalam kesaksian di persidangan oleh Karpo. SH Bin Nursi, Kepala Bagian Hukum Pabrik Gula adalah tidak benar karena ternyata almarhum Dede Sutaryan Alias yayan Bin Sumantri adalah Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Desa Jatiraga bukan petani penggarap, dan Suhenda Alias Uyut Bin Karnata juga adalah Pemimpin salah satu padepokan yang berada di majalengka bukan petani penggarap.
Kedua korban yang meninggal adalah warga Majalengka, mereka adalah otak penyerangan kepada angota F-Kamis yang berupaya menjaga lahannya masing-masing.
Korban meninggal dunia akibat bentrok fisik yang dituding adanya peranan Taryadi selaku ketua F-Kamis dengan alasan telah menginstruksikan para pengurus dan anggota F-Kamis untuk turun menjaga lahan masing-masing.
Pertimbangan Hakim dinilai tidak mengadili secara benar, baik Peradilan tingkat pertama maupun Judex Faktie yang mengadili hanya menguntungkan salah satu pihak saja, padahal
Hakim tidak mengadili secara benar dan berkeadilan sebagaimana perintah Undang-Undang, harus diwajibkan memeriksa secara komprehensif dan bersikap independen.
Hakim diduga telah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara No.6/1981 dan tatacara mengadili sebagaimana di atur dalam Undang-Undang No. 48/ 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Hakim PN Indramayu dan Pengadilan Tinggi Bandung dinilai telah berbuat curang, karena tidak mengadili para penyerang, terutama yang mengkordinir, yang memerintahkan dan yang membiayai pergerakan para jawara yang disewa untuk melakukan penyerangan.
Sesungguhnya hakim diperintahkan untuk on the track yakni mengadili sesuai dengan azas yang digariskan dalam undang-undang, yakni mengadili secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap keterangan yang disampaikan baik para tersangka maupun saksi-saksi.
Hakim tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya. Cara mengadili yang demikian adalah peradilan sesat yang hanya bernafsu mempidanakan tanpa didasari Ilmu pengetahuan, kaidah hukum, rasa keadilan, nurani kemanusiaan dan kebenaran.
1. Bahwa selain penerapan hukum yang tidak sesuai fakta pembuktian persidangan, majelis hakim juga tidak MENILAI SAKSI-SAKSI PALSU yang tidak berkesesuaian dengan saksi lainnya yang sengaja di rekayasa memberatkan Taryadi (saat berstatus terdakwa)
2. Majelis hakim tidak menghadirkan saksi saksi dari unsur aparatur TNI dan polri sebagai kewajiban pengamanan yang sudah mengetahui bahkan menginformasikan adanya pengerahan massa untuk melakukan penguasaan lapangan dengan cara melakukan penyerangan yang dilakukan oleh pihak PG Jati Tujuh pada 04 Oktober 2021 (keterangan : Taryadi, Suharto dan tersangka Aminudin dipersidangan …red).
Menurut pengamatan media ini, kasus yang enak disebut “tragedi” berdarah Jati Tujuh itu emang cukup membingungkan mereka yang berfikir menggunakan logika awam. Sebab peristiwanya terjadi akibat ketidak mampuan pihak PG Jati tujuh memenuhi kewajiban mengadakan lahan pengganti untuk masyarakat penggarap lahan “Awang Uwung” ( lahan yang belum jelas status hukumnya …red ) akan tetapi lahan tersebut dibutuhkan oleh pihak Pabrik Gula (PG) tersebut, dengan alasan guna meningkatkan produksi Gula Nasionalnya.
Bahwa faktanya, meskipun menggunakan cara melawan hukum dan modus operandi akal bulus diantaranya membuat kelompok kelompok penggarap. Pihak PG bukan melakukan intensifikasi tebu dilahan yang dipertahankannya tersebut, melainkan menyewakannya kepada masyarakat sekitar seharga Rp.3 juta /ha dengan kebebasan menggarapnya untuk tanaman apapun baik tebu, palawija, bahkan pertanian tadah hujan (padi Huma..red). Kegiatannya ini kemudian melibatkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) untuk memudahkan pengawasan lahan dan pengutipan uang sewa.
Lebih lebih kemudian didapat informasi falid bahwa para kelompok dan koordinator kelompok (BUMDES) saat mengumpulkan KTP dan sebagainya milik ratusan penggarap tersebut. Banyak Identitasnya kemudian digunakan pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Yang jumlahnya berkisar Rp.40-50 juta per penggarap bahkan ratusan juta rupiah dengan jaminan surat keterangan garapan, namun dana KUR tersebut diambil oleh pihak PG Jatitujuh melalui tangan BUMDES sebagai penanggung jawab anggotanya.
Dana KUR ini ditangani BUMDES dan konon nilainya ratusan milyar. Dalam insiden penyerangan diatas, Salah seorang korban tewas adalah Ketua BUMDES, jadi apa yang disampaikan dalam kesaksian dipersidangan oleh Karpo. SH Bin Nursi Kepala Bagian Hukum Pabrik Gula bahwa korban adalah petani, ini tidak benar karena Dede Sutaryan Alias Yayan Bin Sumantri adalah Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Desa Jatiraga yang notabene adalah kunci skandal ratusan milyar dana KUR dan Suhenda Alias Uyut Bin Karnata adalah Pemimpin salah satu padepokan yang berada di majalengka.
Yang jadi masalah dan pertanyaan para penggiat adalah kenapa identitas korban ketua BUMDES tersebut seakan ditutup – tutupi oleh semua pihak termasuk Karpo.SH Kabag Hukum GP Jati Tujuh, Jaksa Penuntut Umum dan penyidik. serta kenapa ada seorang pelaku penyerangan melarikan diri dan hingga kini hilang seperti ditelan bumi meninggalkan keluarganya. Apakah ada kaitannya dengan kematian kawan sesama penyerangnya ? sementara para tersangka disebutkan oleh keluarganya mengalami penyiksaan saat dalam proses BAP. Ini tentunya jadi pekerjaan rumah semua pihak mengingat “membebaskan 1000 orang bersalah lebih baik dibanding menghukum seorang yang tidak bersalah”. (Han’sBdg)